DIAM



“ JAWAB..!!” Bentak lelaki itu seraya menghempaskan tinjunya ke dinding. Sesuatu mengalir dari sela-sela jarinya, melukiskan warna bendera kebangsaan tanah airnya di dinding tadi. Tak ada gunanya menyarankan diam dan sabar pada api yang tengah berkobar dalam sekam itu. Kesabarannya tlah habis. Nafasnya masih memburu. Murka pada sesosok perempuan yang tetap saja diam. Tak ubahnya  patung yang sedang tersenyum pada lantai, tak tersentuh untuk menatap mata lelaki labil dihadapannya, apalagi untuk menjawab semua pertanyaan klasik yang terdengar bak kaset lusuh yang terlalu sering diputar di saraf kortil auditoriusnya.
“Aargh…!! Mungkin memang salah saya kenapa memberi ruang! Harusnya gak saya biarin kamu menempati  1 ruangpun disini!! “ Lelaki itu semakin geram melihat terdakwanya tak jua merespon, kepalan tangannya yang masih meneteskan darah dipukul-pukulkannya ke dada.

Baginya tak ada yang lebih menyakitkan daripada diacuhkan dalam perasaan yang benar-benar menyiksa akal sehatnya itu. Rasa itu benar-benar mengganggunya. Lebih menjengkelkan daripada rumus distribusi matematika dan stoikiometri! Namun entah mengapa gadis dihadapannya tetap diam. Tak menjawab, tak menangis, tak bergeming, tak merasa takut sama sekali. Dan lelaki itu baru tersadar telah diacuhkan olehnya terlalu lama…
“Saya gak pernah jatuh cinta ukhti…, tapi semua itu sungguh-sungguh ada dalam hati saya saat ini… saya sudah coba berpaling ke langit lain, tapi sketsa itu tetap ada… kamu ada dimana-mana….” Volume suaranya kini mulai turun ke bass, tak ada keberanian dalam dirinya untuk mendekat, apalagi menyentuh gadis itu.

Tak ada jawaban. Lawan bicaranya tetap saja bisu. Atau mungkin perempuan itu memang bisu? Tidak.  Sebab bukankah telah Ia jelaskan sebelumnya, bahwa kata-katanya yang mahal saat berhadapan dengan kaum adam itulah yang dulu telah merebut hatinya dari kendali system syarafnya sendiri…? 10 menit, tak ada reaksi. Suara khas lelaki sumateranya kembali meninggi
“Heiy….!!Apa yang kamu tunggu, HAHH??!! Malaikat putih bersayap yang mampu membawamu terbang tinggi ke langit? Jawab!!!”
Gadis itu tetap diam.
Kini stock kesabaran terakhirnya tlah hangus terbakar mimpi. Ia berlalu. Meninggalkan si gadis beku yang lima belas menit kemudian menitikkan embun dari kelopak matanya. Melembutkan hatinya yang semula kaku.
Rintik Hujan menelusup lewat ventilasi. Pelan. Membisikkan kesejukkan yang nyata dalam nadanya. Semua masih sunyi. Tetap sunyi. Selalu sunyi. Riuh dan bisikkan, tawa dan tangisan, baginya sama. Tak ada beda.. Biochemistry Laboratory memamerkan bau zat-zat kimia yang menusuk. Namun aroma itu tak sedikitpun mengusiknya. Mungkin sudah berpadu dan menyatu dalam parfum elegy di pakaiannya. Ia terus saja melangkah, melewati tangga-tangga sepi, koridor-koridor sunyi, jas lab, sarung tangan. Gema sepatu. Riuh cap beradu. Masker. Lemari asam. Gelas kaca. Tabung reaksi. Darah…

Terbayang lagi olehnya tetesan darah yang masih bersisa di dinding lab, meski telah susah payah Ia benahi. Lelaki itu… dosakah saat keputusannya untuk bungkam justru mengorbankan darah segar seorang manusia? Apa haknya? Berdosakah Ia? apa salahnya? Ia merasa tak pernah berbuat macam-macam, tak pernah berniat menyentuh hati lelaki manapun, apalagi untuk melukainya. Tidak pernah! Lalu, dimana letak kesalahannya? Kurang tinggikah dinding pembatas yang selama ini Ia bangun??

Pekarangan Rumah, 2002
Asap tipis mengepul dari bulir jagung bakar yang tengah berbaris di sebuah arena panggangan di atas kayu bakar yang sedang meronta dilalap si jago merah. Di depannya, seorang gadis kecil menanti dengan senyuman penuh arti. Entah mengapa hanya Ia yang enggan menyibukkan diri dengan obrolan keluarga, seraya menunggu jagung bakar siap disantap di ujung taman. Satu hal yang menarik perhatiannya sejak kecil, Ia Hobi menunggu. Berbeda dengan kakak dan adik-adiknya yang lebih memilih untuk bermain saat bosan menatap objek yang tak kunjung matang itu. Ia tetap menunggu. Entah mengapa. Entah karena apa. Ia suka menunggu. Menunggu punya arti yang misterius baginya. Sambil menunggu, Ia bisa memikirkan banyak hal. Otaknya telah dipaksa berpikir sangat keras dan mengira-ngira masa depan, jauh sebelum waktu dan kapasitas nalar diusianya.
“Siapa Aku?” Untuk kesekian kali pertanyaan itu berhasil mengusik pikirannya akhir-akhir ini.
“Siapa aku!!?” tanyanya pada langit. Tak ada jawaban. Bosan.
“Aku lelah”.
“Sungguh, aku lelah hujan…!!” Gumamnya dalam sepi. Padahal malam itu hujan tidak turun. Gerimis pun tidak. Lalu, ada apa dengan hujan??
“ Aku Makhluk_Nya.” Kini Ia tersenyum dengan jawabannya sendiri.
“Aku manusia, seperti yang lainnya…” kini dahinya berkerut.
“Aku anak ayah dan ibuku…”
“ Aku perempuan”.
“Aku …”.
“Aku….”.
“Aku….”.
“argh….! Tapi bukan jawaban itu yang kumau…!” Ia menggeleng keras.
“Lalu apa?”
“Adakah yang mengerti?!” Cukup lama Ia terdiam.
“ Aku hanya ingin dengar apa yang ingin kudengar…”
“Tapi apa itu….?” Tanya bagian hatinya yang lain
“Ah! Jangan coba tanyakan padaku”
“Sebab,”
“Kurasa akupun tak tau…”

“Hmm… anak ayah kenapa duduk sendirian gini??” lagi musuhan ya sama kakak?” Lamunan gadis itu buyar oleh suara yang Ia kenal. Serta merta Ia berbalik, sekedar memastikan siapa yang datang. Yach. Ayahnya..
Ia hanya menggeleng pelan, lalu kembali diam.
“Anak ayah lagi banyak masalah ya di sekolah….?” Tanya si ayah lagi. Tak ada jawaban.
“Hhh… kayaknya ayah tau nich masalahnya,,, kamu lagi ngambek ya sama ayah karna ayah udah 2 tahun pergi baru pulang..?” Kini hanya hembusan nafas sang anak yang terdengar.
“Enggak yah.. sudah lapar aja.” Jawabnya mantap.
“oh… kirain anak ayah lagi ada masalah… malem-malem gini gak baik lho ngelamun sendirian…”
“Jadi kalo ngelamun harus berjamaah ya yah?” Potong sang gadis. Datar.
“ha.. ha.. ha.. .. anak ayah lucu..!” tukas si ayah sambil mengacak-acak rambut gadis kecilnya dengan gemas
 “Kata kakak, kamu kalo di sekolah gak mau berteman dengan cowok ya?” Sontak membuat sang anak terkejut.
“Memang anak ayah kalo sudah besar gak mau nikah…?” Selidik si ayah lagi.
“Ah.. dasar kakak tukang ngadu…!!” Batin bocah 10 tahun itu. Kesal.
“Oh itu…,  memang kalo iya kenapa yah?” Mata sang ayah membulat. Heran.
“Aku memang gak mau nikah! Gak mauuu….!” Kini skor menjadi 1 sama, gantian si ayah yang dibuatnya terkejut.
“Pokoknya, aku gak mau nikah kalo sama orang lain. “ jawab si gadis. Lugu.
“Lho? Kok gitu....??”, “ Nikah dengan sodara kandung kan gak boleh….” Sergah si ayah. Makin bingung.
“Nah.. ayah aja nikahnya sama ibu. Nenekku nikahnya sama kakekku, Pamanku juga nikahnya sama bibikku. Jadi aku juga gak mau nikah kalo sama orang lain..” Jawabnya asal. Lebih untuk mengalihkan fikiran sang ayah. Kening si ayah makin berkerut. Sebentar kemudian tawanya pecah di udara…
“Jagungku sudah matang yahh….!!”

Lampung University, 2010
Dua Orang mahasiswa dan seorang mahasiswi terlihat sedang beradu argument di lantai 4 sebuah gedung berwarna feminim. Suasana menghangat. Sebelum akhirnya berubah menjadi panas saat seorang mahasiswa yang terlihat sangat rentan itu memutuskan untuk pergi tanpa menunggu titik akhir sebuah penjelasan dari mulut sang mahasiswi di sudut lain ruangan.
“Hhh…masih anak kecil…” mungkin begitu batinnya sebelum pergi meninggalkan ruangan.
Sejenak, Senyap.
“Disini, saya bukan bermaksud mendengar cerita dari versi manapun…, dan saya sama sekali gak berniat membela siapapun…” Si gadis buka suara
“ Yang ingin saya luruskan, tolong kejadian seperti ini jangan terulang lagi.. Sama-sama perbaiki dan akui kesalahan masing-masing aja.. Si ikhwan, jangan terlalu suudzon, lihat akhwat yang sikapnya agak berbeda sedikit aja langsung dipandang negatif dan berujung ghibah dengan orang lain. Si akhwat, jangan diulangi lagi memancing penyelesaian dan klarifikasi masalah lewat tulisan di dinding kampus seperti itu.. Karena gak semua yang kita temui dan kita kenal harus sesuai dengan ideologi kita kan??”

Nada bicaranya alto dan tertahan di ujung pita suara. Tak terucap. Ia tau semua takkan memperjelas keadaan. Ia hanya akan tetap dipandang sebagai seorang anak kecil, dan lagu berjudul “dan” milik grup band kesayangannya itupun akan tetap mengiris hatinya saat teringat hubungan pertemanannya dengan sang akhwat ikut rusak oleh kasus klasik para aktivis itu..
Akhwat. Kata itu kah yang menimbulkan pertengkaran via angkatan ini? Baginya yang terpenting sekarang hanyalah kekeluargaan. Dan persaudaraan jauh lebih mahal dibanding harga sebuah idealisme setengah matang.
Sekali lagi, Akhwat. Bukankah kata itu bermakna “perempuan”? Perempuan yang seperti apa adanya perempuan. Perempuan yang sama seperti dirinya. Yach! Hanya perempuan. Namun mengapa sekarang kata itu jadi terkesan berbeda saat didengar ditempatnya berada? Bahkan jika kata akhwat itu sudah bergeser makna jadi sosok wanita berhijab lebar dengan pandangan selalu berlawanan arah di depan lelaki yang bukan muhrimnya, Ia tak mau lagi disebut akhwat. Sebab, bukankah Ia sama dengan yang lain? Sama dengan muslimah-muslimah lain yang tak mengenakan hijab putih dihari jum’at. Tak ada beda. Bukankah Allah hanya membedakan manusia atas imannya? Dan siapa yang berhak mengukur kadar iman seseorang? Ah! Tak akan ada yang mengerti apa yang Ia rasakan. Biarlah Ia melangkah melalui sisi jalan yang lain, namun tetap dengan arah yang sama. Salahkah? Biar saja Ia berpadu dalam mu’ayasyah, berinteraksi langsung ke dunia yang dianggap abu-abu. Bersatu dalam debu. Biar kotor, asal debu itu perlahan bisa dihilangkan, tanpa harus mengotori tempatnya bernaung. Tanpa ada yang bisa menyalahkan dan mempermasalahkan saat dirinya bersalah. Tanpa merusak nama baik siapapun/apapun. sebab kini Ia berjalan Underground. Yach. Underground.

Teras kamar, 2011
Rintik hujan masih menemani lamunannya malam ini. Sementara riuh bola-bola api bertebaran dari sudut paling ujung tatapan matanya, bukit randu. Bunga-bunga api itu menghiasi hamparan langit Lampung city di sejauh matanya memandang, lalu dengan tepat meledak dan berjatuhan kira-kira disekitar atap rumahnya. Kembang api maha besar dan berisik itu tak lebih hanya untuk merayakan usia bumi yang semakin renta. "Happy New Years..!!!!!!!!! "seru suara-suara di stasiun TV dalam tontonan adik-adiknya dibawah ruangan. Entah apa yang Ia fikirkan, yang jelas Ia berada disana lewat tengah malam bukan untuk merayakan perayaan yang tak ada dalam kalender agamanya itu. Bukan. Ia memang kerap duduk seorang diri disana, sekedar menatap langit malam saat hujan turun. Malam itupun sama.  Yang beda, langit malamnya kini berhias rainbow night palsu, yang hanya semakin mengganggu tafakurnya dalam keterasingan. Teringat lagi pertanyaan-pertanyaan berantai yang diajukan keluarga, teman-teman, sanak saudara, hingga adik-adik kecilnya selama 1 tahun silam. Bak kaleidoskop yang tak henti-hentinya berputar dalam layar diatas langit yang hanya miliknya sendiri.
Untuk pertama kalinya mereka bertanya:
“Dimana hatimu? Dimana nuranimu? Dimana perasaanmu? Atau, dimana letak kau buang hati dan perasaanmu?”
Untuk kedua kalinya mereka bertanya :
“Taukah cinta?  Mengertikah cinta? Pernahkah cinta? Jawablah “cinta”. Atau, dimanakah letak kau kubur cinta dan harapanmu?”
Untuk ketiga kalinya mereka bertanya
“Mengapa Diam? Mengapa pergi? Mengapa kejam? Mengapa bungkam? Mengapa jauh? Mengapa hilang? atau, dimanakah letak kau simpan kepingan mozaik yang dapat buktikan kenormalanmu?”
Tertekan.

Basecamp, Ramadhan 1432 H
“Dia sepi disini.. Tak seperti yang lain..” Senandung lagu milik Judika itu masih berputar dalam layar segiempat kira-kira 32 centi di depan matanya. Sementara jari-jarinya tetap sibuk menari diatas keyboard. Kepalanya dipenuhi berbagai file, dan Ia merasa folder di otaknya sudah menjerit untuk segera di “Disc Clean Up!!”.
Ia memang merasa sepi disana, sementara tawa dan canda teman-temannya terdengar riang dan ramai di luar ruang pertapaannya. Harusnya Ia ringkih saat itu, tapi nyatanya tidak. Kali ini Ia hanya ingin tetap diam. Tak ingin lagi menangis, tak ingin lagi merasa sendiri meski Ia memang hanya seorang diri. Diam adalah jalan keluarnya yang terakhir saat semua jalan telah mencapai titik buntu. Diam adalah bentuk lain dari makna “Menerima apa adanya takdir yang sudah ada..”. Diam bisa dijadikan alasan untuk perlahan mengembalikannya ke sosok dirinya dimasa lalu. Ia yang memutuskan untuk menikmati setiap kehilangan sebagai sebuah kebiasaan dan keharusan, kesendirian sebagai sebuah petualangan dan kemandirian. Meski di dasar hatinya yang paling dalam, Ia akui bahwa canda dan tawa itulah impian yang dulu Ia cari ditempat itu. Dan disaat impian itu sudah menjemput di depan mata, Ia malah seolah menjauh, seolah pergi, seolah lari.. Lari dari keharmonisan keluarga kedua yang kini tak Ia rasakan di ruangan tempatnya berada. Sungguh Ia hanya ingin diam. Hanya inginkan ketenangan. Hanya inginkan kesibukan. Meski kesibukan itu makin menimbulkan kepenatan.
Benar saja, tak lama kemudian kepenatannya memuncak. Diam. Diraihnya sebuah benda segiempat lain di bawah ranselnya, lalu kembali diam.

“Medan berbicara lebih mudah dibanding menulis. Kekuatan ruh sebuah kata tercermin dari karakter seseorang. Ketika medan jihad untuk menumbangkan kedzoliman begitu sukar ditaklukan dengan tangan, maka alihkan tangan kananmu untuk memegang pena kebenaran, dan biarkan Ia menulis kisah semangat para syuhada…”
Kata demi kata asy-Syahid Hasan Al-Banna dalam buku yang digenggamnya itu masih terus Ia baca. Di cerna. Difahami. Dan menjadi pencerah bagi hari-harinya yang bingar oleh suara..
Dimana-mana orang bicara. Dimana-mana semua bertanya. Dan Ia mulai lelah mendengar. Ingin dikuncinya saja rapat-rapat pintu mulutnya. Ia rindu keheningan itu. Sangat rindu. Bosan dengan perdebatan-perdebatan yang tak menjelaskan. Debat-debat itu hanya mempersaingkan siapa yang benar, siapa yang salah. Siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dan sungguh Ia lelah. Sebab kata tak mengakhiri penjelasan. Penjelasan tak berbuah pemahaman. Pemahaman tak mengerti kesudahan. Pengertian tak memahami keputusan.
Tak Lama, Ia tersenyum. Dengan senyuman yang lebih punya arti. Tak sekedar topeng yang harus Ia perlihatkan dihadapan dunia setiap hari. Ia Lelah. Ya, telah dikatakan tadi bahwa Ia sudah benar-benar mencapai klimaks dari kata lelah itu sendiri..

Dan untuk pertama kalinya, Ia menjawab dengan pena:
Lihat, malam tak mengerti. Hujan tak menyembunyikan. Hatiku disini. Masih disini.. Dibatas nadir pemahamanku sendiri. Tak ada yang berhak mengusik. Sebab hati ini punyaku. Dan hanya milik_Nya..
Tak adakah yang lebih istimewa dalam hidup? Selain memikirkan soal hati yang jelas-jelas ada dalam kendali diri sendiri? Bagaimana dengan Iman? Bagaimana dengan Tuhan? Bagaimana dengan orangtua, amanah dan kepercayaan? Bagaimana dengan fungsimu dalam kehidupan?
Muak.
Hijab fisik diperkuat. Tapi naluri? Tak ada yang bisa menahan.
Liar.
Tak perlu interaksi diperdebatkan. Sebab hijab tak mampu lagi mengikat malu.
Dimana hati? Dimana iman?
Tercuci oleh eksklusifisme semu..., Tak ingatkah aqidah itu yang no.1?

Telah lama perempuan palestina menjadi pejuang yang tangguh dan tabah. Menjadi saksi atas ayahnya yang ditawan. Istri-istri yang merelakan suaminya hilang tanpa jejak. Ibu-ibu yang menguburkan sendiri anaknya dalam ruang-ruang bawah tanah. Bahkan gadis-gadis yang memilih untuk meledakkan diri sebagai syuhada, daripada harus terjamah tangan kotor tentara Israel yang haus dara kesucian. Merekalah perempuan-perempuan yang istimewa. Yang rela mati demi alasan yang melampaui cita-cita pembebasan palestina. Sedang aku? Siapa aku? Siapa kita? Pantaskah kau sematkan perasaan nan agung itu untukku? Cintai saja mereka, yang pantas dicinta atas cintanya yang teramat besar pada sang pencipta. Kau tak benar-benar tau siapa aku. Siapa aku? Tak pantas rasa itu ada padaku. Sebab kata itu terlalu suci dalam pendengaranku. Aku manusia. Aku perempuan. Dan kini, belum saatnya rasa itu ada dalam pikiran masa mudaku! Maafkan. Cari saja yang kau rasa layak dapatkan... Sebab aku hanya manusia. Aku makhluk_Nya. Bukan pula aktivis, bukan kaum fanatis. Fana dalam fatamorgana. Bukankah hidup tak sebatas hipokrasi dan Orasi? Pelajari. Buktikan.Renungkan. Perankan. Rasakan. Dimana hati? Dimana iman? Tersamar kepadatan interaksi yang membosankan.

Untuk kedua kalinya, Ia menjawab dengan tinta:
Apakah selalu begitu? Perasaan manusia akan mudah tersanjung oleh sebuah pengorbanan yang begitu tulus? Dan apakah selalu begitu? Setiap rasa kagum dan terimakasih berpadan dengan perasaan cinta yang begitu membuta? Atau apakah selalu begitu? Setiap rentang pertemuan keturunan hawa dan adam menyisakan semburat rasa yang kau sebut cinta? Jika benar selalu begitu, biarkan aku mengungsi. Ke sebuah peradaban yang sunyi. Dimana hidup tak melulu berkaitan dengannya. Dengan pria. Dengan cinta. Dengan rasa. Dengan kata. Beri aku pena, dan tinggalkan aku disana. Sebab aku sudah lelah bicara…

Untuk ketiga kalinya Ia menjawab dengan Do’a:
Ya Allah..
Jika telah tiba saatnya,
engkau berkenan membiarkanku jatuh cinta,
Biarkan aku mencintai seorang hamba yang Engkau cintai..
Kepada seorang hamba yang selalu merindukanmu.
Kepada seorang hamba yang bisa menuntunku ke surga.
Kepada seorang hamba,
yang tak hanya mampu memberikan keindahan pada mata dan hatiku..
Tapi juga mampu memberi keindahan imannya dihadapan_Mu
Kepada seorang hamba yang TAK MAU memberikan cintanya,
sebelum sanggup mengikrarkannya atas nama_Mu.
Kepada seorang hamba yang hanya mencintaiku, karna_Mu, dan atas izin_Mu…

Alunan lagu "Rapuh" milik Opick masih terdengar sayup dari komputer yang menemaninya dalam senyap.
Lalu Ia kembali diam.
Dalam diam.

[ Postingan lama 28 Oktober 2011 yang sempat Hilang :(  ]

0 Response to "DIAM"

Post a Comment

Most Popular

Pengikut