Oleh: Tyas Rosawinda. Kh
”Masih terlalu banyak mahasiswa yang
bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tapi menindas kalau berkuasa.
Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi, dll. Setiap tahun datang
adik-adik dari sekolah menengah, mereka akan jadi korban-korban baru untuk
ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi....
Pertanyaan pertama yang harus kita jawab adalah : “Who am
I?” saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual muda yang tidak mengejar
kuasa, tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia
menghadapi ketidakpopuleran, karena ada sesuatu yang lebih besar: KEBENARAN.” (Soe Hok Gie).
Kata-kata ‘Paman’ Gie itu segera menyentak saya ke jurang pendalaman, tentang selaput tipis antara
idealisme, Permusuhan, dan Persaudaraan...
IDEALISME.
Bukankah Nasionalisme tidak hanya lahir
dari jargon-jargon membara?
humanisme bukan sekedar hipokrasi latah atas dasar ikut-ikutan demi tujuan
kekuasaan! seorang
yang idealis bukanlah seorang arogant yang menolak semua yang tidak sesuai
dengan hidupnya dan membenci segala yang berlawanan dengan hatinya. Sang
idealis adalah seorang yang bijak, yang anti tawuran atau berdemonstrasi hanya untuk memuaskan nafsu dan merasa
penting untuk sesaat, lalu mulai merusak.
Gerakan mahasiswa tidak hanya
bisa digulirkan dalam
bentuk aksi-aksi jalanan, juga bisa
diungkapkan dalam bentuk essai, opini atau tulisan di koran-koran mahasiswa bahkan media cetak. Itulah sebabnya nabi muhammad dicintai
banyak orang termasuk musuh-musuh beliau, sebab beliau bisa menyelesaikan
masalah tanpa menjual idealisme serta pemahamannya pribadi juga tanpa menyakiti orang lain.
Sains telah mengajari kita
cara untuk menjelajah angkasa bagai elang dan menyelami lautan bagai
lumba-lumba, tapi sains belum bisa mengajari kita cara hidup damai di dunia ini
bagai manusia, yang bisa hidup
dalam kebersamaan dan saling pengertian yang sejati... Sains telah menciptakan 2-4-D untuk memusnahkan tumbuhan liar,
bahkan telah memberikan formula E=MC2 yang dapat menghancurkan
dunia, tapi problema yang dihadapi para
ilmuwan sains sekarang adalah
penyalahgunaan hasil-hasil penemuannya itu. Tidak adanya pengertian dalam jiwa kita, memposisikan sains sebagai penghancur,
bukan sebagai anugerah..
Permusuhan adalah efek dari ketidakmengertian,
dan kekeringan yang paling hebat di dunia ini adalah kekeringan pengertian.
Mengulas sedikit tentang kasus tawuran antar mahasiswa unila yang sempat
booming akhir-akhir ini, pasti
tidak akan jauh-jauh dari permasalahan ego dan idealisme sang “intelektual
muda” yang merasa terusik. Saya menyebut setiap pertengkaran itu sebagai
“dialog para tuli”. Setiap orang hanya ingin dimengerti posisinya, hanya ingin
menyampaikan isi
hatinya, untuk membela diri sendiri, untuk membuktikan bahwa dirinyalah yang benar dan orang lain yang salah. Jarang sekali ada kemauan untuk memahami orang
lain... Kita sering berdalih semua pertikaian itu disebabkan oleh ketidakserasian emosi, padahal hal ini hanyalah
dalil yang diciptakan oleh para
hakim untuk mempermudah kasus perceraian. Sebenarnya tidak ada ketidakserasian
emosi, yang ada hanyalah kesalahfahaman yang bisa diperbaiki bila ada kemauan
untuk itu.
Keinginan untuk rukun dengan
orang-orang yang tidak sepaham dengan kita adalah hal yang sangat krusial. Yang diperlukan dalam persaudaraan
adalah keinginan/ niat yang kuat
untuk saling mengerti, karena kerukunan itu sendiri merupakan suatu
proses. Kita bisa saja selalu
memaafkan orang lain, tapi kita tidak bisa memaksa orang lain untuk selalu memaafkan kita.
Di perkuliahan, persaudaraan
bukan hadir hanya saat kita memerlukan
bantuan/sekedar contekan saat ujian. Di organisasi, persaudaraan tidak hanya
lahir saat membutuhkan subjek guna memperlancar program kerja, lantas
ditinggalkan saat kepungurusan berakhir. Pun dalam kehidupan sehari-hari,
persaudaran ialah hubungan erat tanpa syarat. Tak ada istilah ‘mantan’ dalam
kamus persaudaraan, yang tetap mengucapkannya hanyalah sedikit dari sekian ribu
orang yang gak punya kamus istilah tata solidaritas.
Begitulah cinta dalam hakikat persaudaraan, cinta yang membuahkan rasa saling pengertian kepada sesama. Cinta
adalah bentuk keberartian diri, eksistensi jiwa dalam hati saudaranya, dia
hadir lewat kebersamaan, dia ada karena adanya rasa saling mengerti, dan dia
subur bersama keinginan untuk memberi. Idealisme yang salah arti hanya akan menimbulkan permusuhan, dan
permusuhan akan terus menerus menghancurkan
hubungan persaudaraan yang sejati. So, mari sama-sama kita hilangkan
selaput nano antara idealisme dan persaudaraan, dengan memulai dari diri
sendiri, mulai dari yang kecil, dan mulai dari sekarang... “Ibda’ bi nafsik,
faghzuha” (mulailah dari dirimu sendiri, lalu berperanglah!) (HR.
al-Thayalisi dari Abdullah Ibn `Umar).
(Dimuat di buletin UKMF
Natural Fmipa Unila pada rubrik Opini, Oktober 2011)
Gambar by: google.com
0 Response to "Idealisme, Permusuhan dan Persaudaraan"
Post a Comment