TIGA BELAS RIBU: Dan Allah Maha Mengetahui Segala Isi Hati



"Yah.. Hari ini limit waktu bayar SPP.. Kemarin juga harus beli buku paket. Katanya, kalo gak beli, paling bagus dapat nilai D.. SPPnya aja dulu ya Yah.. Sudah nunggak 3 kali.." 

Tak tega. Tapi Alin tetap terpaksa menguatkan hati untuk mengiba. Meski Ia tau, di kantong ayahnya saat itu mungkin hanya tersisa belasan ribu saja seperti biasanya~ yang tak lama pasti akan berpindah tangan juga padanya. 

Dibuangnya pandangan menutupi bulir yang mulai menggenang, demi Ayahnya yang setiap kali diminta untuk mengisi kolom pekerjaan orangtua, selalu menjawab "Tulis saja wiraswasta nak", 

Padahal Ia tau, ayahnya pernah menjadi pegawai negeri kehakiman, pernah menjadi konsultan dana bos, atau pekerjaan lain yang kata orang "lahan basah", namun tetap tak mampu membeli idealismenya yang sangat tinggi, sekalipun harus undur diri dan jatuh. Dan itu yang membuat Alin sangat bangga terhadap ayahnya. Sejak kecil..

Alin berjalan tak tenang setelah memastikan ayahnya mengangguk perlahan. Hatinya sakit, ingin membantu tapi tak mampu..

Digenggamnya tigabelasribu terakhir yang mungkin ayahnya miliki saat itu sekuat tenaga. Jalannya cepat menyusuri setiap hasta aspal menuju kantor balai desa di kecamatannya berada, -+1 Km saja jaraknya dari rumah.

Masih ada harapan untuk membantu. Hanya tinggal 1 berkas saja yang harus diperolehnya untuk mengajukan beasiswa dikampusnya: Surat Keterangan Tidak Mampu. (Beasiswa Prestasi Akademik yang pernah diperolehnya, baru bisa berlanjut jika telah diselingi dengan beasiswa lain). 

Seharusnya bisa saja surat keterangan tidak mampu itu ia peroleh kemarin-kemarin sebelum jatuh tenggat waktu, apalagi dihari terakhir pengumpulan berkas beasiswa ini, bertepatan dengan waktu ujian akhir salah satu matakuliah wajib yang sangat penting bagi kelanjutan SKS-nya. 

Namun apa daya, beasiswa itupun baru saja diketahuinya kemarin sore lewat salah satu staf fakultas yang keceplosan, saat tengah ia wawancarai (untuk salah satu rubrik dibuletin fakultasnya). Beasiswa untuk mahasiswa tidak mampu judulnya. Tapi infonya terbatas, alias hanya beberapa orang saja yang (boleh) tau.

"Tiiiiiiinnnnnnn.....!!!!!!!! Tiiiiiiinnnnnnn.....!!!!!!! Hei mbak kalo jalan tuh liat ke depan bukan liat aspaal..!!" Bentak sopir truk sambil berlalu. 

"Rajalangit mbak, yuk Rajalangit Rajalangit.. Mau ke Rajalangit mbak?" Tawar kernet sopir angkutan umum (angkot) di seberangnya. Alin menggeleng. Kembali bergegas menyusuri aspal. Cerah matahari pagi berganti terik. 2,5 jam lagi waktu ujiannya dimulai. 

Bisa saja ia naik salah satu angkutan umum untuk segera sampai ke depan gang balai desa yang ia tuju, mungkin 3 menit sudah sampai, daripada harus berjalan kaki setengah berlari seperti itu. Tapi ia sadar, digenggamannya hanya ada tigabelasribu yang harus hati-hati ia jaga: 

3 ribu untuk angkot pertama menuju pusat kota. 3 ribu untuk angkot kedua menuju kampus. Begitupun untuk pulang lagi kerumah: 3 ribu untuk angkot ketiga dari kampus menuju pusat kota, 3 ribu untuk angkot ke-empat menuju rumah. Jatah jajannya hanya seribu rupiah saja, itupun jika tidak ada iuran kelas atau sumbangan ini itu dikampusnya.

***

Terengah-engah, dirogohnya saku kemudian diliriknya jam digital di hp monoponik yang sudah pecah layarnya. Pukul 8.10 WIB.

Bergegas, diraihnya sebuah bangku yang tergeletak di samping pintu balai desa. Sambil menghela nafas yang masih ngos-ngosan, pandangannya celingak-celinguk mencari petugas pelayanan yang semestinya sudah terlihat di depan balai. Belum datang. Pintu balai pun masih tutup. Hanya gerbangnya saja yang sudah menyapa. 

Sambil menunggu, terbayang sudah ketenangan yang akan menyelamatkan hari-harinya 2 semester kedepan andai ia lulus di pemberkasan beasiswa ini, ah! Alin bahkan sudah berandai-andai bisa menyisihkan sebagiannya untuk membeli sepatu menggantikan sendal jepit biru pemberian ibunya 2 tahun lalu~ yang bukannya malu saat dipakai ke kelas, hanya saja takut jika sampai ketahuan asisten praktikum atau tak sopan saat dikenakan konsultasi dengan dosen pembimbing dikampusnya..

45 menit menunggu, pintu balai baru dibuka. Seorang ibu setengah baya mengenakan pakaian dinas menatapnya tanpa senyum. Kaku. Sedikit ragu ia berdiri, si ibu sontak mendelik mengarahkan matanya ke kursi tempat Alin duduk tadi. Memintanya kembali duduk tanpa meminta.

Alin mencoba kembali bersabar. Tapi mulai tak sabar. Kurang dari 1,5 jam lagi ujiannya dimulai. Satu-persatu pengunjung balai mulai berdatangan, ada yang langsung duduk dikursi pegawai seperti si ibu tadi, ada juga yang duduk disekitarnya, ikut menunggu. Ada lebih dari 5 orang sekarang.

Aneh. Tak lama satu-persatu mereka yang ikut menunggu dipanggil oleh si ibu setengah baya. Dirinya? Belum. Dilirik pun tidak. Padahal Ia yang pertama kali mengantri. Ada apa?

30 menit lagi menunggu dan tersisa 1 orang saja disebelahnya. Alin mulai tak sabar, diberanikannya bertanya kepada salah satu petugas mengenai keperluannya, petugas tersebut menghardik. 

"Sabar dek! Kalo mau gak antri, silahkan bayar 20 ribu di depan sana!!" Ujarnya kasar sambil menunjuk sebuah kotak yang sebelumnya Alin kira kotak sumbangan untuk mushola/panti asuhan. 

Deg! 

Bukan 20 ribunya yang membuat hati Alin sakit. Tapi.., Entahlah.. Ada yang menyayat-nyayat hatinya begitu dalam. Hingga lukanya begitu perih terasa..

Digenggamnya lagi tigabelasribu miliknya sekuat tenaga. Alin berjalan gontai ke kursinya. Mencoba menunggu lagi dengan sabar.

20 menit.. 30 menit lagi berlalu.. Bukannya dipanggil, justru satu persatu pengunjung balai semakin ramai memadati area ruang tunggu. Satu persatu dengan ajaibnya kembali dipanggil ke dalam, pastinya setelah memasukkan uang kertas ke kotak yang petugas tadi tunjuk. 

"Hari gini kalo mau urusan mulus harus pake fulus, yuk duluan" Sindir perempuan yg tadi menunggu tepat disebelahnya.

Alin geram. Tidak sampai 1 jam lagi ujiannya dimulai. Bagaimanapun sudah sejauh ini, tak mungkin berkas ini ia abaikan.

Hingga akhirnya sampai pada antrian terakhir Alin dipanggil ke dalam, masih dengan sikap sinis dan kasar ia dilayani setengah hati. Kemudian Alin diminta memfotokopi sendiri berkasnya ke luar balai. Padahal bapak-ibu disebelahnya tadi tidak, meski keperluannya sama, tidak sampai 5 menit berkas mereka sudah diterima dengan riang. Mengapa begini Alin diperlakukan?

Memfotokopi tak masuk ke daftar 'alokasi tigabelasribu' Alin hari ini, alamat Alin harus berjalan kaki lagi ke kota untuk menutupi kekurangan ongkosnya.

Kalau hari lain, memang Alin sudah terbiasa hemat berjalan kaki menuju pusat kota (agar hanya sekali saja naik angkot menuju kampusnya). Kebiasaan yang justru bisa menghadiahinya seporsi siomay untuk makan siangnya. Tapi kali ini? Dengan waktu pengumpulan berkas dan ujiannya yang sudah limit didepan mata?

"Astaghfirullah.. "
"Astaghfirullahal adziiimm"

Ada yang hendak membuncah dikelopak matanya namun ia tahan. Anak ayah gak boleh cengeng kan? 

Usai bolak-balik berlari ke tempat fotokopi di seberang gang, diulurkannya berkas tadi ke petugas balai, berharap segera dibalas selembar kertas surat keterangan tidak mampu. Tapi rupanya tak semulus itu.. 

"Suratnya baru bisa kamu ambil lusa siang! Sekarang pak Lurah belum datang! Mengerti? Kalau sudah tidak ada keperluan, silahkan keluar!"

Allah...

Bukankah tadi pak Lurah sudah datang dan masuk ke ruangannya? Bukankah ibu-bapak yang menunggu bersamanya tadi begitu cepat dan mudahnya langsung menerima surat tanpa syarat apapun juga? Tanpa menunggu begitu lama sepertinya, langsung jadi saat itu juga!

Ditinggalkannya ruangan balai dengan pandangan menjijikkan, terlebih saat melewati kotak berisi uang yang tadi ditunjuk si petugas ~yang tepat disampingnya terpasang banner bertuliskan "No Calo, No Pungli, Ayo berantas Korupsi Bersama!".

Luruh sudah emosi dalam dirinya. Dengan bibir gemetar, Alin menengadahkan kepalanya kelangit, mencoba memaksakan senyum, sekedar memberi semangat agar tak jatuh air matanya.

Panas.
Yang ada di dalam hatinya lebih panas lagi.

Dikampusnya sana, ujiannya sudah dimulai. SMS salah satu kakak tingkatnya tadi.

Di rumahnya sana, pasti ada hati yang tengah marah karena belum bisa memenuhi kebutuhan sekolah dan kuliah anak-anaknya. Marah pada dirinya sendiri. Bayangan itu yang lebih menyesakkan hati Alin.

Lagi. Dan lagi. Kilauan bening mendesak tuk keluar. Namun susah payah Alin tahan.

"Tidak bisa. Barusan, semua berkas beasiswa sudah dibawa ke Rektorat dan segera dibawa ke pusat." Balasan SMS dari salah satu staf fakultas yang mengurusi urusan beasiswanya.

Kali ini Alin menyerah. Dipasrahkan airmatanya menganaksungai mengurangi sesak yang menumpuk didada. Langkahnya sudah gontai namun tetap diseret berjalan menuju pusat kota. BUKAN BARU SEKALI 'hal seperti ini' menahan impian dan langkah-langkah kecilnya.

Belasan kilo, tak dipedulikannya lagi tatapan orang-orang disekitarnya yang melihatnya menangis disepanjang jalan bak orang frustasi. 

Hari itu. Di angkot pusat kota menuju kampusnya, dengan airmata berderai tak peduli tatapan siapapun jua, ALIN BERSUMPAH pada dirinya sendiri: 

Bahwa ia tak akan pernah membiarkan dirinya jatuh ke lembah korupsi yang hina. Sekecil apapun nilainya.. Se-kaya/se-mampu apapun dirinya nanti. SE-LUAS apapun kesempatan yang ia punya.

*Ketika menulis ini, harus berhenti beberapa kali untuk mengusap airmata yg menggenang, mengenang kenangan pahit yg seketika terbayang. 

**Minggu, 17 April 2020. Tepat 66 Months of love, dibulan bergantinya status kita dari CPNS menjadi PNS. Tersengat, Mas..
"Banyak yang mampu bertahan saat DIUJI dengan KESULITAN, tapi sangat sedikit yang lulus jika DIUJI dengan KECUKUPAN",

***Semoga Allah segera menyatukan kita dengan tetap memberi jalan untuk selalu berpegang teguh dalam Keistiqomahan. Meski sulit. Meski sakit. Meski perih.. 
Sebab tak ada yang mustahil bagi Allah. "Wallahu 'alimum bizatis-sudur" (Dan Allah maha mengetahui segala isi hati). Aamiin ya Rabb..
.
#CoretanPanjangPengingatDiri
#66MonthsOfLove

0 Response to "TIGA BELAS RIBU: Dan Allah Maha Mengetahui Segala Isi Hati"

Post a Comment

Most Popular

Pengikut