“Aku paham bagaimana rasanya menunggu. Sangat Paham.
Karenanya, jangan tunggu aku, aku benci ditunggu. Mohon.. Berhenti menunggu
orang tak layak sepertiku..”
Mungkin aku tak tau bagaimana sakitnya kamu, tapi yang
pasti, akupun pernah menunggu belasan tahun lamanya, teramat menyakitkan
rasanya.. Ajari aku cara menyampaikannya padamu, bahwa aku tak akan pernah bisa
memenuhi apa yang kamu tunggu.. Katakan padaku, bagaimana caranya untuk hidup
tanpa harus menyakiti hati lelaki manapun? Salahkah aku yang tak pernah ingin
merasakan cinta? Salahkah aku saat ketika telah tiba waktunya, kalian lagi-lagi
datang untuk menanyakan hal yang sama padaku –yang bukan sekedar cinta?
Salahkah? Jelaskan dimana letak salahku... Katakan padaku bagaimana aku bisa
baik-baik saja saat harus menolak dengan tidak menyakiti satupun dari kalian, ketika
pada kenyataannya, di kedua kalinya khitbah mendatangiku, orangtuaku setuju dan
aku harus satu per satu menyakitimu? Katakan padaku... Bagaimana caranya? Karena
aku tak pernah ingin menyakiti hati siapapun...
“Aku paham bagaimana rasanya berada dipersimpangan. Sangat
paham. Karenanya, ku mohon, jangan biarkan aku kembali goyah dan ragu terhadap
apa yang telah kita pertimbangkan”.
Pooh ku, bagaimana aku bisa percaya bahwa kamu yang selama
ini hanya ku anggap sebagai kakak, sebagai saudara, sebagai keluarga, tiba-tiba
mengatakan kata-kata yang sama seperti yang mereka nyatakan? Bagaimana bisa?
Bukankah kita keluarga? Dan bagaimana juga bisa ayahku menerima? Bagaimana bisa
keluarga ku mengizinkan? Bagaimana bisa kamu, dan aku, akan benar-benar menjadi
KELUARGA yang sebenarnya? Bisakah aku percayakan dunia akhiratku padamu?
Bisakah? Bisakah aku titipkan nasib masa depanku dan anak-anakku kelak
ditanganmu seorang diri? Bisakah kita benar-benar bertahan mengarungi kerasnya
kehidupan berumah tangga hingga maut memisahkan kita? Bisakah aku percaya?
Bahwa hidup bersamamu adalah pilihan terbaik untuk tidak lagi terus bersedih
menghadapi dunia? Bisakah?
“Aku tau bagaimana rasanya ditinggalkan. Sangat tau.
Karenanya, meski tak sesakit mereka yang tak memiliki orangtua-atau mereka yang
orangtuanya telah tiada- Rasa sakit tetaplah hanya sebuah rasa, yang sama
menyakitkan.”
Ayah, ibu.. Bagaimana mungkin aku menanyakan pertanyaan ‘bagaimana’
pada kalian, saat kurasa, mungkin, kalian pun tak tau harus menjelaskan ’apa’
dan ‘mengapa’....? Malam itu, 16 Juli 2014 pukul 01.45 WIB, aku terpaksa harus melompati
pagar kosan untuk menemui kalian yang sedang bertengkar besar dirumah.
Bagaimana aku harus mengatakan bagaimana perasaanku saat itu? Bagaimana harus
kujelaskan bagaimana hancurnya perasaan adik-adik dan kakakku? Ayah.. Ibu..
Malam itu tepat disaat waktu sahur, kami anak-anakmu, memutuskan untuk
menyetujui perceraian kalian. Tolong jelaskan padaku bagaimana caranya menahan
airmata saat melihat jerit tangis adik-adik kesayanganku? Bagaimana nasib
mereka? Malam itu kami, anak-anakmu, menjadi lebih solid disaat kalian telah
sangat sulit untuk disatukan.. jelaskan padaku Yah.. Bu... Bagaimana caranya
menuruti kata-kata abang untuk tak lagi menangis saat memikirkan tentang nasib
pernikahanku 4 bulan yang akan datang? Apa yang harus aku lakukan? Saat harus
terus menahan air mata yang tak kuasa membuncah saat harus merasakan
detik-detik idul fitri sendiri dirumah, disaat yang lain berkumpul bahagia bersama
keluarga... :’( Jelaskan padaku Yah.. Bu...
“Aku paham. Sangat paham bagaimana rasanya menyayangi.
Karenanya, berhenti terlalu menyayangiku.. Yah.. Bu.. Mohon kali ini, pikirkan juga
kebahagiaan kalian.. Walau apapun yang harus kami pertaruhkan..”
Aku telah ikhlas Yah.. Aku telah ridho Bu... Apapun yang
akan terjadi, tetap harus dihadapi.. Benar kata abang, “Hidup selama ini kurang
menyakitkan apa sampai kamu masih bisa menangis? Jangan ada lagi airmata untuk
keluarga ini..!” Benar kata ayah “Bagaimanapun, gak akan ada yang namanya
mantan ayah, mantan ibu, sekalipun kami akan jadi mantan suami- istri..” Aku
telah ikhlas ayah.. Aku telah ridho Bu... Meski teramat menyakitkan saat
mendengar om memutuskan 3 pilihan yang sama sulitnya bagiku..: 1. Kamu tetap
nikah -Ayah ibu rukun kembali, dan itu sepertinya gak akan mungkin terjadi, 2. Kamu
tetap harus nikah- Dan Ayah ibumu cerai sekarang juga, 3. Kamu tetap nikah, dan
ayah ibumu rukun sampai hari pernikahanmu terlewati, baru setelah itu mereka
cerai.
Wahai Ayah.. Ibu.. Bagaimana caranya aku bisa menata hati
untuk tidak bersedih? Sekeras apapun aku berusaha tersenyum pada dunia, Dadaku
tetap terasa sesak luar biasa saat sendiri memikirkan semua.. Ayah... Aku
trauma.. :’( Bisakah kita hentikan saja pernikahan itu juga? Ibu.. Aku tak
tega.. Bagaimana mungkin membiarkan adik-adikku menderita disaat aku kalian
serahkan kepada seorang lelaki yang belum tentu bisa membawaku ke dalam naungan
keluarga yang rukun dan bahagia? Bagaimana bisa menahan tekanan batin saat
harus melihat adik-adikku sendiri memaki mu Yah.. Ayah yang teramat ku cintai..
Bagaimana bisa menahan derita saat harus melewati sholat idul fitri sendiri
tanpa mencium tangan surgamu Bu... Ajarkan padaku cara untuk minimal tidak
berkaca-kaca dihadapan dunia... Ajari
aku :’(
Kurasa, kali ini, se-menyakitkan apapun itu, gak ada yg
lebih membuatku sesak tak terbendung selain saat membayangkan betapa kami-anak
anakmu- Tak mampu menghilangkan semua derita tanpa derita :’(
*di hari raya idul fitri 1435 H yang Sendiri. Maaf
lahir bathin... :’)
0 Response to "Aku Paham Bagaimana Rasanya........ Sangat Paham. "
Post a Comment