Aku, Kau dan Cinta *



“Inilah waktunya untukku, cinta itu datang padaku…
Mengapa aku harus ragu, hidup ini terlalu singkat…” **

Kau datang begitu saja, se ‘abrakadabra ’ takdir yang tak pernah ku duga, begitu “Apa Adanya”…
Senyummu, nakalmu, nekatmu, sabarmu, tulusmu, begitu sederhana, seperti “dia” saja…
CINTA.
Satu kata klasik yang bisa menjadikan harimu penuh warna, atau sebaliknya, kelam, muram, dan menderita..
Mungkin cinta itu pahit, HITAM..
Bagaimana bisa berwarna? jika cinta selalu saja berbatasan tipis dengan kehilangan..
Hanya karena sesuatu yang sederhana, orang bisa mencintai dan menganggap seseorang sangat penting dalam hidupnya..  Hanya dengan 1 kali menatap, atau sekali dua kali merasakan perhatian, bisa berujung saling pengertian, lalu tumbuh suatu ikatan. Bagiku perasaan seperti itu bukanlah Cinta..
Seperti “dia” yang  tiba-tiba hadir membawa perasaan itu, perasaan yang bukan cinta, tapi selalu ada… Perasaan yang teramat sederhana…
Perlahan tapi pasti, ‘Ia’ menarikku ke dalam dunia yang belum pernah kusinggahi. Menyusup ke alam mimpi.  Semuanya asing.  Benar-benar GAK BERES! Dan aku merasa nyaman dibawa berlari dari Aku yang sesungguhnya. Tak ingin masuk ke dunia nyata lagi, pingin terus-terusan mimpi…
Bodohnya, ketukan bernama kenyataan itu menyadarkanku , bahwa alam mimpi tak selamanya bisa ku masuki, tak selamanya bisa ku jelajahi…

“Kita takkan pernah tau, jika waktu kita kan berakhir..
Dan bila saatnya t’lah tiba, kenanglah selalu saat ini…” **

Selepas ‘Ia’ pergi, aku tak tau diriku kesepian atau tidak. Sepertinya aku tak butuh orang lain, tak butuh dipahami. Terdengar angkuh memang… Tapi begitulah. Apa yang bisa dimengerti jika tak ada yang bisa dimengerti??
Aku hanya ingin sosok teman seperti ‘nya’, yang bisa selalu menjaga tanpa ‘merasa’, yang bisa selalu menemani tanpa meng’ingin’i, yang bisa selalu ku ‘ikut’ tanpa rasa takut. Takut mencintai dan dicintai…
Yah, yang paling mengerti diri sendiri pada akhirnya hanya diri kita sendiri… Karena takut kehilangan, maka gak bisa ngomong. Dan akhirnya, aku gak bisa bilang sama orang yang paling kuinginkan bisa memahamiku, supaya dia memahamiku.
Dan lagi-lagi, semua hipotesisku berujung pada 1 kesimpulan. Bagiku, tak seorangpun bisa memahamiku…
Pada dasarnya aku gak percaya hubungan antar manusia, tapi ingin kujaga, ingin ku percayai… Aku seperti sedang menekan perasaanku sendiri. Semua masih saja datang dan pergi sesuka hati. Gak berhenti coba memberi arti walau pada akhirnya hanya terus-terusan menyakiti.
Aku gak mau mencintai dan dicintai, karena cinta ada di dalam hati. Kalau hati luka bisa sakit. Memang gak boleh takut sama rasa sakit? Aku benci kehilangan! Maka aku benci cinta. Dan akhirnya. aku benci Aku.
Kata orang, semakin banyak luka kita semakin kuat, tapi aku cukup 1 aja, -cukup luka darimu yang belasan tahun belum mampu ku obati..-  Banyak luka bikin takut. Aku Benci Takut.
Jadi, bukan salahku kan kl harus terus-terusan bosan? Bosan memutus tali silaturahim.
Tanya saja pada malam, siapa yang tak benci cinta? Benci cinta bukan berarti gak normal kan? Benci cinta bukan berarti takkan pernah bisa mencintai.. Benci cinta bukan berarti GILA….!!
Aku memang keterlaluan, tapi bukan berarti tak punya hati… Siapa pula yang benar-benar serius bilang mencintai? Ku tau semua hanya ingin pergi. Hanya ingin menggunakan 3 kata itu sebagai alibi, untuk segera terbebas dan menjauh dari si perempuan tak tahu diri…

“Bintang menghiasi malam hari, seperti cerita cinta kita..
Masa-masa kita bersama, tak mungkin bisa ku lupakan…” **

Masih berpikir kalau aku cinta “dia”? simpan saja pikiranmu itu ke tempat sampah. Karena ku tegaskan sekali lagi padamu, bahwa AKU TAK PERNAH SEDIKITPUN MENCINTAINYA…
Aku menyayanginya. Itu benar. Teramat sangat menyayanginya. Menginginkannya menjadi ‘sahabat hidup’, menggali warna lain kehidupan, melewati hitam putihnya bersama. Tapi aku gak mengharapkannya  menjadi “teman hidup”.
Dia yang dengan gaya sok dewasanya mengajarkanku untuk tetap hidup dalam hidup. Dia yang dengan gaya sok bersahajanya meninggalkanku sendiri untuk melanjutkan pencarian jati diri, tentang apa sesungguhnya arti hidup. Aku yang teramat ingin membencinya, tak akan pernah sedikitpun mampu untuk membencinya.
Meski harus meneruskan hidup dengan merangkak, aku tetap hidup. Meski harus terus menyibukkan diri, dan membunuh dengan tega setiap kali kerinduan itu muncul. Aku tetap hidup. Dan aku terus hidup. Masih hidup.

“Ku akan tetap ada, menjagamu disetiap waktu
Dan ku tak bisa melihat air matamu…”**

Bagaimana bisa melihatmu rapuh? Bagaimana mungkin sanggup melihatmu jatuh? 'Kamu'. saudaraku, selayak kakak kandungku, kakak yang senantiasa berbuat baik tanpa berharap apapun dariku. 'Kau' yang kini ku sayangi. Teramat kusayangi. Dan siapa yang sanggup menatap wajah lemah orang yang disayanginya? Aku sungguh ingin turut merasakan semuanya…***
Ini bukan lagi tentang sahabatku. Bukan pula tentang jatuh cinta pertamaku. Tapi ini tentang asa. Harapan yang suci tuk menjalin kembali hubungan perasaan yang erat. Seperti pada ’nya’ yang telah pergi…
Tapi lagi-lagi ini bukan tentang cinta. Tak peduli lah semua mau bilang apa. Ini tentang ‘mu’. Tentangmu yang begitu tulus memahamiku. Tulus bertahan di ‘batas’ itu. Kapanpun aku hanya ingin bisa membahagiakanmu. Kapanpun aku hanya ingin bisa selalu jadi pendengarmu. Hanya ingin jadi pendengarmu yang baik.

  Terimakasih telah “mengembalikan” warna dalam hidupku.
-Tanpa memaksakan 3 rasa itu padaku-
  Terimakasih telah meruntuhkan “keangkuhan” ku,
-Tanpa memaksaku menuruti apa-apa yang kau mau-
  Terimakasih…
         Terimakasih…
                  Dan hanya terimakasih yang mampu mewakili kebahagiaanku saat ini…

_semoga abadi_
  
“Kau. 
  Kau selalu tetap tinggal dihatiku….”**


Rainbownight_artYasa, 15 Juni 2012. 12:03
*      Monolog ‘anak kecil’ ini dibuat untuk klarifikasi semua gosip yg udah terlanjur berkembang
**   Dikutip dari lagu “Waktunya Cinta” by: Randy pangalila
*** Tersengat buat skripsinya :)







0 Response to "Aku, Kau dan Cinta *"

Post a Comment

Most Popular

Pengikut